A BEAUTIFUL LOVE
By Nia Kusumawardani
Hari ini cuaca sangat indah meskipun sedang
bersalju. Sama seperti senyumannya yang selalu menghiasi bibir indahnya. Ya,
dia adalah Jane Rainsworth. Sahabat sekaligus gadis idamanku sejak dahulu. Dia
adalah cinta pertamaku. Namun, aku terlalu pengecut. Sudah beberapa kali aku
mencoba untuk menyatakan perasaanku padanya, tapi itu tidak pernah tejadi.
Nyaliku selalu ciut saat melihat dirinya. Aku hanya bisa melukisnya dari
kejauhan seperti ini.
Meskipun aku sahabatnya semenjak kecil, tapi
dia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman perempuannya. Aku
memang tahu karakternya yang senang mendapat perhatian dari banyak orang. Jadi
aku pun memberinya ruang untuk bergaul dengan siapa saja yang dia inginkan.
Tapi di kala ia membutuhkanku untuk mencurahkan keluh kesahnya, aku senantiasa
membuka pintuku untuknya. Aku tahu itu terlihat seperti, ia menghampiriku jika
ia membutuhkanku. Tapi, hanya itu yang bisa kuberikan. Membuatnya nyaman dan
bahagia.
Sekarang kami sudah dewasa dan akan lulus
dari universitas. Itu berarti kami akan melanjutkan hidup masing-masing. Aku
mulai ketakutan. Ketakutan akan kehilangan dirinya. Aku harus segera menyatakan
perasaanku sebelum aku menjadi gila. Masalah ia akan menerimaku atau tidak,
setidaknya aku sudah mengungkapkannya.
Jadi, sepulang sekolah, aku cepat-cepat
pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaianku. Saat ini langit sudah
gelap tapi cukup cerah bila dilihat dari bintang-bintang yang berkerlip-kerlip
cukup banyak. Dan aku pun berangkat menuju rumahnya.
Aku baru sampai di seberang rumahnya, saat
kulihat dirinya sedang berciuman dengan seorang lelaki. Dan tak lama lelaki itu
pun pergi. Kelihatannya ia selesai mengantar Jane pulang. Aku tak tahu pria itu
siapa, tapi yang kutahu pasti, Jane sama sekali tidak pernah—atau
belum—menceritakannya dan aku terlambat satu langkah dengan lelaki itu. Niatku
untuk berbicara dengannya pun pupus sudah. Aku berbalik dan langsung berlari
pulang.
Saat di perjalanan, di sebuah gang di sudut
kota, tiba-tiba aku diterkam oleh sesuatu. Aku tak tahu itu apa atau dia siapa dan
apa yang dia inginkan. Sangat sulit untuk melepaskan diriku darinya. Ia sangat
kuat. Wajahku dipukulnya dengan keras hingga tubuhku jatuh ke tanah dan aku
tidak dapat bergerak. Dalam kondisi tak berdaya, kurasakan sesuatu yang tajam
menusuk kulit leherku dan aku pun tak sadarkan diri.
Kubuka mataku perlahan. Masih di gang, namun
bukan gang tempat di mana aku diserang. Aku tak tahu apa yang telah terjadi.
Terasa bagaikan mimpi. Leherku yang ditusuk sesuatu, lalu aku bangun dan
merasakan kerongkonganku terbakar, kurasakan darah seseorang mengalir melalui
kerongkonganku. Semua itu terasa tidak masuk akal. Spontan ku sentuh sisi
leherku dan tak ada bekas luka apapun. Itu kabar baik. Aku mencoba berdiri dan
terkejut dengan pergerakanku sendiri. Gerakanku terlalu cepat. Kupandangi
bajuku yang berantakan dan cepat-cepat merapikannya.
Langit masih gelap, atau sudah gelap?
Mengingat aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku tidak tahu.
Kuharap ini masih malam yang sama. Aku pun segera pulang untuk mandi dan
istirahat.
Saat di rumah, aku membuka pakaianku dan
bergegas mandi. Awalnya aku tak menyadari. Di depan cermin aku terlihat
berbeda. Tidak ada memar apapun dan ada noda samar merah di sekitar mulutku
yang segera kubersihkan. Kulitku tampak lebih pucat dari biasanya. Dan mataku
sekarang berwarna ungu. Itu aneh. Meski aku tak mempercayainya, tetap saja
sebuah pertanyaan terlintas di pikiranku, apakah aku seorang vampir? Well, aku senang
membaca cerita seperti itu dan itu hanya sebuah cerita mitos yang dikembangkan
ceritanya oleh para penulis favoritku. Aku tak pernah benar-benar memercayainya.
Tapi bukti-bukti ini berkata sebaliknya.
Jika aku vampir, seharusnya jantungku tidak
berdetak. Jadi, aku pun menyentuh dadaku untuk memastikan. Jantungku masih
berdetak walaupun sangat lambat. Itu lumayan bagus. Tapi kegelisahanku tetap
ada. Bukti bahwa aku bukan vampir masih sangat kurang dan aku tak tahu apakah
jantung vampir yang tak berdetak itu benar atau tidak. Aku harus mencari tahu
kebenarannya.
Kulirik jam dan jarumnya sudah menunjukkan
pukul sepuluh pagi. Seharusnya aku pergi ke sekolah, tapi tidak untuk hari ini.
Aku harus memastikan siapa diriku sebenarnya sekarang. Kulangkahkan kakiku
menuju lemari yang ada di seberang. Tidak sampai satu detik aku sudah sampai
dan aku terkejut untuk kedua kalinya. Oke, dua ciri khas sudah terlihat. Lalu
kali ini kusadari bahwa penglihatan dan pendengaranku juga menajam. Aku bisa
mendengar suara langkah kaki orang-orang yang sedang lalu lalang di semua
lantai apartemen ini. Aku dapat melihat tulisan pada kertas yang aku tempelkan
pada dinding di seberangku dengan sangat jelas. Dengan tanpa busana aku terus
merenungi perubahanku.
Apa
yang akan terjadi padaku nanti jika matahari sudah kembali tersenyum pada bumi?
Selain itu, aku tak ingin menyakiti orang-orang yang aku cintai—keluargaku dan
tentunya Jane—baik secara fisik—karena kini aku adalah seseorang yang haus
darah—maupun mental—karena mengetahui kini aku adalah seorang vampir alias
pembunuh berdarah dingin. Meski ini bukanlah kesalahanku, tapi tidak menutup
kemungkinan mereka akan membenciku dan takut padaku. Ini membuatku frustasi.
Tiba-tiba telepon berdering. Aku terpaku
untuk sesaat. Lalu kuangkat.
“ Syukurlah. Kau kenapa, Will? Hari ini aku
tidak melihatmu di kampus. Apa kau sakit? Aku akan menjengukmu nanti. Ucapkan
sesuatu Will,” tutur suara Jane di ujung telepon.
“ Hai. Aku tidak apa-apa. Aku ada urusan yang
begitu mendesak. Sebentar lagi aku akan pergi. Kau tidak perlu ke sini.” Aku
berbohong lalu menutup telepon. Hatiku sakit memperlakukannya seperti ini. Tapi
aku harus.
Seminggu telah berlalu. Aku hanya berdiam
diri di dalam apartemen yang kututup rapat-rapat. Untunglah Jane memercayai
kata-kataku. Kemudian sesekali aku keluar untuk mencari ‘minum’ dan mencoba
berbaur. Hanya orang-orang berdosa di pinggir kota saja yang aku buru. Aku tak
tega membunuh orang yang tak berdosa. Dan setiap hari aku selalu meluangkan
waktuku untuk mengamati Jane dari seberang jalan. Kurasa sekarang ia sudah
memiliki seorang kekasih dan terlihat sangat bahagia. Melihat itu aku pun ikut
bahagia meskipun di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku masih merasa cemburu.
Dilandaskan rasa cemburu itulah, aku akhirnya
menyelidiki kekasih barunya itu. Aku tak ingin wanita yang aku cintai mencintai
orang yang salah. Memang membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga aku dapat
mengetahui seluk beluk lelaki itu. Lelaki itu sebenarnya sangat tertutup meski
dari luar tampak terbuka. Jendela apartemennya selalu tertutup. Hanya terbuka
di saat pagi hari.
Dia bernama Evan Lewis. Evan adalah seniorku
dan Jane. Orangtuanya sangat kaya dan dia adalah anak tunggal. Aku tak heran
jika banyak wanita termasuk Jane mengincarnya. Ditambah wajahnya yang tampan
dan tubuhnya yang proporsional, tinggi dan kurus namun berotot. Namun di balik
itu semua, aku merasakan hal yang jahat pada dirinya. Firasatku tidak pernah
salah, apalagi jika berkaitan dengan Jane. Aku akan terus mengawasinya.
Suatu malam bel di apartemenku berbunyi. Dengan pelan dan hati-hati aku
membuka pintu. Tiba-tiba Jane sudah menerobos masuk dan memelukku. Spontan aku
mundur dan berjalan sepelan mungkin menuju dapur. Wajah Jane terlihat bingung
namun masih ada rasa khawatir di sana.
“ Will? Ada apa? Ke mana saja kau selama ini?
Hampir selama musim dingin ini kau menghilang. Dan omong-omong kau dingin
sekali,” ucapnya sambil duduk di sofa. Ia masih berusaha bersikap tenang.
Aku terdiam sejenak. Dia sudah mulai
menyadari perbedaanku.
“ Sudah kubilang, ada satu masalah yang
mendesak yang mengharuskanku berhenti kuliah untuk sementara. Aku sudah meminta
cuti.” Aku menjawab tanpa berani menatap matanya.
“ Maksudku ada masalah apa? Kenapa kau tidak
cerita? Tidak adil rasanya jika aku yang mengeluh terus-terusan padamu. Aku
juga ingin membantu.”
“ Ini bukan urusanmu. Kau tidak akan
mengerti. Biar aku saja yang menanggung ini semua.” Aku terkejut karena nada
suaraku terdengar lebih ketus dari yang aku inginkan.
“ Tapi aku sahabatmu! Tidakkah itu penting?
Aku pasti akan mengerti, Will. Kita tumbuh bersama.” Nada suaranya sedikit
marah.
“ Maafkan aku. Tapi ini yang terbaik. Maafkan
aku.”
“ Aku tak menyangka kau jadi seperti ini. Kau
berubah, Will. Aku tidak tahu apa yang merasukimu,” ucapnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala lalu membanting pintu pergi.
Suatu malam di awal musim semi, aku tak
sengaja memergoki Evan membawa seorang wanita ke apartemennya. Mereka tampak
sangat mesra. Firasat burukku terbukti. Jane tidak akan kubiarkan bersama lelaki
seperti itu. Aku harus memberitahukan ini secepatnya meski hubunganku dengan
Jane belum membaik semenjak kunjungannya ke apartemenku.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah
Jane. Kutekan bel rumahnya. Sudah dua kali aku menekan bel namun masih tidak
ada jawaban. Saat aku hendak menekan bel lagi, seseorang sudah membuka pintu.
Di sanalah Jane, berdiri di hadapanku dalam celana pendek dan sweaternya. Pada
awalnya ia terkejut, tapi dengan cepat ia memasang wajah tanpa ekspresi.
“ Mau apa kau ke sini?” ucapnya ketus.
“ Kau harus mengetahui sesuatu.” Kutatap tajam
matanya.
Kami berdiri di ambang sambil saling menatap
dalam diam. Cukup lama hingga akhirnya ia pun angkat bicara.
“ Masuklah.” Ia mundur untuk memberiku jalan.
Aku langsung menuju sofa dan duduk. Setelah
menutup pintu, ia pun menghampiriku dan duduk di seberangku. Meski suasana
sangat canggung, akhirnya ia bertanya, “ Apa yang akan kau katakan? Bicaralah.”
“ Sebelumnya maukah kau berjanji akan
mempercayaiku?” tanyaku ragu-ragu.
“ Cepatlah! Ini sudah larut malam.”
“ Ini mengenai Evan. Tadi ketika aku sedang
berjalan-jalan, aku tak sengaja memergokinya membawa seorang wanita ke dalam
apartemennya. Hindari dia, Jane. Kumohon.”
“ Kau bohong. Kau bahkan tidak mengenalnya!
Sekarang pergilah.”
“ Tapi Jane. Deng—“
“ Pergi!”
Akhirnya aku pun pergi. Padahal kubiarkan
saja dia bahagia. Aku ingin melihatnya bahagia meski bukan denganku. Tapi aku
tak bisa membiarkannya sakit hati pada akhirnya nanti.
Beberapa bulan kemudian, aku melihat Jane dan
Evan bertunangan. Aku tak bisa membiarkan mereka menikah. Tapi segala usahaku
sia-sia. Kepercayaan Jane terhadapku sudah hilang. Ia lebih memercayai Evan
sekarang. Dan buruknya, Evan adalah seorang pembohong ulung. Aku tahu itu
dengan sangat jelas. Entah bagaimana caranya. Aku mengetahuinya begitu saja.
Berkali-kali Evan mengancam akan membunuhku
jika Jane sampai tahu saat aku memergokinya berselingkuh. Tapi siapa yang lebih
kuat di sini? Sudah pasti aku. Namun jika dia tahu rahasiaku, dia harus
kubunuh. Maka aku pun mengalah. Kebenaran pasti akan terungkap suatu saat
nanti.
Hingga suatu malam saat mereka sedang makan
malam bersama. Kulihat Evan keluar menemui selingkuhannya. Jane ditinggalkannya
di dalam. Selingkuhannya tampak kesal dan Evan dengan susah payah menjelaskan.
Bagaimana bisa dia mengundang dua wanita sekaligus di satu tempat? Itu
keterlaluan.
Saat wanita itu pergi, aku membawa Evan ke
samping restoran.
“ Kau ini apa?” Dia sangat terkejut menyadari
betapa kuat dan cepatnya aku meski aku sudah berlari selambat mungkin.
“ Aku Will Lightwood. Kau masih berani menipu
Jane. Aku tak bisa membiarkanmu melakukan ini padanya!”
“ Kau ini siapa Jane, huh? Kau bukan lagi
sahabatnya! Kau tak berhak atas apa-apa.”
Dengan cepat kuserang dia. Sebisa mungkin aku
tak menggigit dirinya. Jijik rasanya jika darahnya ada di tubuhku. Tapi
ternyata ia cukup tangguh. Kini aku memaksimalakn kekuatanku yang sesungguhnya
dan ia pun kalah telak. Ia berhasil kusudtkan ke dinding.
“ Ada kata-kata terakhir, Evan?”
“ Kau ini apa, huh?” Ekspresinya takut
sekaligus kesal.
Aku diam sejenak tanpa mengendurkan kuncianku
padanya. Kemudian ia meludah padaku dan kini kemarahanku sudah sampai puncak.
“ Kau akan tahu sebentar lagi.”
Dengan cepat kugigit lehernya dan kuhisap
darahnya hingga habis. Meski merasa jijik aku terpaksa melakukannya.
“ Will?” Tiba-tiba terdengar suara Jane dari
arah belakang. Aku spontan berbalik mengahadapnya dengan mulut penuh dengan
darah.
“ Jane.” Aku tak dapat berkata apa-apa. Kami
sama-sama terkejut.
“ Apa yang telah kaulakukan? Siapa kau? Ke
mana sahabatku?” Ia pun menangis.
Aku ingin sekali mendekati dan memeluknya.
Tapi itu tidak mungkin.
“ Ini aku, Will. Ini terjadi begitu saja. Ini
bukan kehendakku. Kau tahu? Ia baru saja menemui selingkuhannya di saat kalian
sedang makan malam. Ini semua demi kau. Aku tak bermaksud membunuhnya. Aku—aku
menyesal. Maafkan aku.”
“ Aku tahu kau berubah, Will. Tapi aku tak
menyangka kau akan membunuh orang.” Dan ia pun pergi begitu saja tanpa
mendengarkan penjelasanku selanjutnya.
Setiap hari kulihat Jane selalu murung. Aku
merasa bersalah padanya. Hingga suatu hari aku melihatnya di atas sebuah
gedung. Ia hendak bunuh diri. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin berada di bawah
sinar matahari secerah ini. Kulihat dirinya semakin dekat ke pinggir gedung.
Akhirnya aku pun mencoba untuk ke sana. Dan tidak terjadi apa-apa. Hanya saja
tubuhku berkilauan. Aku tak begitu mengerti. Dengan cepat aku memanjat gedung
tanpa dilihat orang lain, kecuali Jane. Aku bersyukur karena tempat ini jarang
dilalui orang.
“ Jane, kumohon. Jangan lakukan ini.
Bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan prestasimu selama ini? Bagaimana
dengan teman-temanmu? Bagaimana dengan aku?”
Perlahan aku menghampirinya.
“ Diam di sana! Aku tidak tahan dengan semua
ini! Sahabatku kau ambil. Tunanganku kau ambil. Kau mengambil semuanya dariku!”
“ Aku masih tetap Will, Jane. Hanya fisikku
yang berubah. Dan semua tindakanku adalah demi kebaikanmu. Tolong percayalah.”
“ Tidak. Aku ingin bertemu Evan sekarang
juga.” Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia pun berjalan lebih ke sisi lagi
hendak menjatuhkan diri.
Dengan cepat kupeluk ia dari belakang dan
menariknya mundur. Ia mencoba melepaskan diri tapi aku jauh lebih kuat.
“ Kumohon Jane. Jangan lakukan ini padaku.
Aku mencintaimu Jane. Sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku seperti ini.”
Aku berbisik di telinganya.
Ia berhenti melawan. Setelah yakin ia tidak
akan mencoba bunuh diri lagi, aku melepaskannya. Rasanya lega perasaanku sudah
tersampaikan meski terlambat.
“ Jane?” Ia memunggungiku cukup lama tanpa
berkata apa-apa.
Akhirnya aku menyentuh pundaknya dan
menghadapkan tubuhnya padaku. Pipinya basah oleh air mata. Melihat ia menangis
akibat ulahku membuatku panik.
“ Ada apa Jane? Apakah kau kesakitan saat
kupeluk tadi? Bicaralah”
Sambil menggelengkan kepala ia berkata, “ Kau
baru saja menyatakan perasaanmu. Kenapa kau tidak mengatakannya sejak dulu?”
“ Aku hendak mengatakannya padamu tepat saat
aku berubah Jane. Aku tak bisa muncul di hadapanmu dalam keadaan seperti ini.
Tapi kau memaksaku Jane.”
“ Aku tak peduli kau ini apa. Yang terpenting
adalah kau masih Will yang aku kenal.”
“ Aku masih Will yang kau kenal. Jangan
khawatir. Percayalah.”
Kami bertatapan cukup lama. Aku tahu kini dia
memercayaiku lagi. Itu terpampang jelas di matanya. Aku pun memberanikan diri
untuk menciumnya. Dan ia pun membalasnya.
Tiba-tiba dia mundur dan berkata, “ Kau
sangat silau Will. Kau bisa merusak mataku. Bawa aku ke apartemenmu dan
ceritakan semuanya.”
Sambil tersenyum senang aku membopongnya di
punggungku dan berkata, “ Pegangan erat-erat.” Aku pun membawanya menuju ke
kehidupan yang akan kami lalui bersama nanti.
•••
0 comments:
Post a Comment