あくら: Cerpen : A Beautiful Love

Pages

Wednesday 19 June 2013

Cerpen : A Beautiful Love


A BEAUTIFUL LOVE
By Nia Kusumawardani

Hari ini cuaca sangat indah meskipun sedang bersalju. Sama seperti senyumannya yang selalu menghiasi bibir indahnya. Ya, dia adalah Jane Rainsworth. Sahabat sekaligus gadis idamanku sejak dahulu. Dia adalah cinta pertamaku. Namun, aku terlalu pengecut. Sudah beberapa kali aku mencoba untuk menyatakan perasaanku padanya, tapi itu tidak pernah tejadi. Nyaliku selalu ciut saat melihat dirinya. Aku hanya bisa melukisnya dari kejauhan seperti ini.
Meskipun aku sahabatnya semenjak kecil, tapi dia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman perempuannya. Aku memang tahu karakternya yang senang mendapat perhatian dari banyak orang. Jadi aku pun memberinya ruang untuk bergaul dengan siapa saja yang dia inginkan. Tapi di kala ia membutuhkanku untuk mencurahkan keluh kesahnya, aku senantiasa membuka pintuku untuknya. Aku tahu itu terlihat seperti, ia menghampiriku jika ia membutuhkanku. Tapi, hanya itu yang bisa kuberikan. Membuatnya nyaman dan bahagia.
Sekarang kami sudah dewasa dan akan lulus dari universitas. Itu berarti kami akan melanjutkan hidup masing-masing. Aku mulai ketakutan. Ketakutan akan kehilangan dirinya. Aku harus segera menyatakan perasaanku sebelum aku menjadi gila. Masalah ia akan menerimaku atau tidak, setidaknya aku sudah mengungkapkannya.
Jadi, sepulang sekolah, aku cepat-cepat pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaianku. Saat ini langit sudah gelap tapi cukup cerah bila dilihat dari bintang-bintang yang berkerlip-kerlip cukup banyak. Dan aku pun berangkat menuju rumahnya.
Aku baru sampai di seberang rumahnya, saat kulihat dirinya sedang berciuman dengan seorang lelaki. Dan tak lama lelaki itu pun pergi. Kelihatannya ia selesai mengantar Jane pulang. Aku tak tahu pria itu siapa, tapi yang kutahu pasti, Jane sama sekali tidak pernah—atau belum—menceritakannya dan aku terlambat satu langkah dengan lelaki itu. Niatku untuk berbicara dengannya pun pupus sudah. Aku berbalik dan langsung berlari pulang.
Saat di perjalanan, di sebuah gang di sudut kota, tiba-tiba aku diterkam oleh sesuatu. Aku tak tahu itu apa atau dia siapa dan apa yang dia inginkan. Sangat sulit untuk melepaskan diriku darinya. Ia sangat kuat. Wajahku dipukulnya dengan keras hingga tubuhku jatuh ke tanah dan aku tidak dapat bergerak. Dalam kondisi tak berdaya, kurasakan sesuatu yang tajam menusuk kulit leherku dan aku pun tak sadarkan diri.
Kubuka mataku perlahan. Masih di gang, namun bukan gang tempat di mana aku diserang. Aku tak tahu apa yang telah terjadi. Terasa bagaikan mimpi. Leherku yang ditusuk sesuatu, lalu aku bangun dan merasakan kerongkonganku terbakar, kurasakan darah seseorang mengalir melalui kerongkonganku. Semua itu terasa tidak masuk akal. Spontan ku sentuh sisi leherku dan tak ada bekas luka apapun. Itu kabar baik. Aku mencoba berdiri dan terkejut dengan pergerakanku sendiri. Gerakanku terlalu cepat. Kupandangi bajuku yang berantakan dan cepat-cepat merapikannya.
Langit masih gelap, atau sudah gelap? Mengingat aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku tidak tahu. Kuharap ini masih malam yang sama. Aku pun segera pulang untuk mandi dan istirahat.
Saat di rumah, aku membuka pakaianku dan bergegas mandi. Awalnya aku tak menyadari. Di depan cermin aku terlihat berbeda. Tidak ada memar apapun dan ada noda samar merah di sekitar mulutku yang segera kubersihkan. Kulitku tampak lebih pucat dari biasanya. Dan mataku sekarang berwarna ungu. Itu aneh. Meski aku tak mempercayainya, tetap saja sebuah pertanyaan terlintas di pikiranku, apakah aku seorang vampir? Well, aku senang membaca cerita seperti itu dan itu hanya sebuah cerita mitos yang dikembangkan ceritanya oleh para penulis favoritku. Aku tak pernah benar-benar memercayainya. Tapi bukti-bukti ini berkata sebaliknya.
Jika aku vampir, seharusnya jantungku tidak berdetak. Jadi, aku pun menyentuh dadaku untuk memastikan. Jantungku masih berdetak walaupun sangat lambat. Itu lumayan bagus. Tapi kegelisahanku tetap ada. Bukti bahwa aku bukan vampir masih sangat kurang dan aku tak tahu apakah jantung vampir yang tak berdetak itu benar atau tidak. Aku harus mencari tahu kebenarannya.
Kulirik jam dan jarumnya sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Seharusnya aku pergi ke sekolah, tapi tidak untuk hari ini. Aku harus memastikan siapa diriku sebenarnya sekarang. Kulangkahkan kakiku menuju lemari yang ada di seberang. Tidak sampai satu detik aku sudah sampai dan aku terkejut untuk kedua kalinya. Oke, dua ciri khas sudah terlihat. Lalu kali ini kusadari bahwa penglihatan dan pendengaranku juga menajam. Aku bisa mendengar suara langkah kaki orang-orang yang sedang lalu lalang di semua lantai apartemen ini. Aku dapat melihat tulisan pada kertas yang aku tempelkan pada dinding di seberangku dengan sangat jelas. Dengan tanpa busana aku terus merenungi perubahanku.  
 Apa yang akan terjadi padaku nanti jika matahari sudah kembali tersenyum pada bumi? Selain itu, aku tak ingin menyakiti orang-orang yang aku cintai—keluargaku dan tentunya Jane—baik secara fisik—karena kini aku adalah seseorang yang haus darah—maupun mental—karena mengetahui kini aku adalah seorang vampir alias pembunuh berdarah dingin. Meski ini bukanlah kesalahanku, tapi tidak menutup kemungkinan mereka akan membenciku dan takut padaku. Ini membuatku frustasi.
Tiba-tiba telepon berdering. Aku terpaku untuk sesaat. Lalu kuangkat.
“ Syukurlah. Kau kenapa, Will? Hari ini aku tidak melihatmu di kampus. Apa kau sakit? Aku akan menjengukmu nanti. Ucapkan sesuatu Will,” tutur suara Jane di ujung telepon.
“ Hai. Aku tidak apa-apa. Aku ada urusan yang begitu mendesak. Sebentar lagi aku akan pergi. Kau tidak perlu ke sini.” Aku berbohong lalu menutup telepon. Hatiku sakit memperlakukannya seperti ini. Tapi aku harus.
Seminggu telah berlalu. Aku hanya berdiam diri di dalam apartemen yang kututup rapat-rapat. Untunglah Jane memercayai kata-kataku. Kemudian sesekali aku keluar untuk mencari ‘minum’ dan mencoba berbaur. Hanya orang-orang berdosa di pinggir kota saja yang aku buru. Aku tak tega membunuh orang yang tak berdosa. Dan setiap hari aku selalu meluangkan waktuku untuk mengamati Jane dari seberang jalan. Kurasa sekarang ia sudah memiliki seorang kekasih dan terlihat sangat bahagia. Melihat itu aku pun ikut bahagia meskipun di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku masih merasa cemburu.
Dilandaskan rasa cemburu itulah, aku akhirnya menyelidiki kekasih barunya itu. Aku tak ingin wanita yang aku cintai mencintai orang yang salah. Memang membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga aku dapat mengetahui seluk beluk lelaki itu. Lelaki itu sebenarnya sangat tertutup meski dari luar tampak terbuka. Jendela apartemennya selalu tertutup. Hanya terbuka di saat pagi hari.
Dia bernama Evan Lewis. Evan adalah seniorku dan Jane. Orangtuanya sangat kaya dan dia adalah anak tunggal. Aku tak heran jika banyak wanita termasuk Jane mengincarnya. Ditambah wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang proporsional, tinggi dan kurus namun berotot. Namun di balik itu semua, aku merasakan hal yang jahat pada dirinya. Firasatku tidak pernah salah, apalagi jika berkaitan dengan Jane. Aku akan terus mengawasinya.
Suatu malam bel di apartemenku  berbunyi. Dengan pelan dan hati-hati aku membuka pintu. Tiba-tiba Jane sudah menerobos masuk dan memelukku. Spontan aku mundur dan berjalan sepelan mungkin menuju dapur. Wajah Jane terlihat bingung namun masih ada rasa khawatir di sana.
“ Will? Ada apa? Ke mana saja kau selama ini? Hampir selama musim dingin ini kau menghilang. Dan omong-omong kau dingin sekali,” ucapnya sambil duduk di sofa. Ia masih berusaha bersikap tenang.
Aku terdiam sejenak. Dia sudah mulai menyadari perbedaanku.
“ Sudah kubilang, ada satu masalah yang mendesak yang mengharuskanku berhenti kuliah untuk sementara. Aku sudah meminta cuti.” Aku menjawab tanpa berani menatap matanya.
“ Maksudku ada masalah apa? Kenapa kau tidak cerita? Tidak adil rasanya jika aku yang mengeluh terus-terusan padamu. Aku juga ingin membantu.”
“ Ini bukan urusanmu. Kau tidak akan mengerti. Biar aku saja yang menanggung ini semua.” Aku terkejut karena nada suaraku terdengar lebih ketus dari yang aku inginkan.
“ Tapi aku sahabatmu! Tidakkah itu penting? Aku pasti akan mengerti, Will. Kita tumbuh bersama.” Nada suaranya sedikit marah.
“ Maafkan aku. Tapi ini yang terbaik. Maafkan aku.”
“ Aku tak menyangka kau jadi seperti ini. Kau berubah, Will. Aku tidak tahu apa yang merasukimu,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala lalu membanting pintu pergi.

Suatu malam di awal musim semi, aku tak sengaja memergoki Evan membawa seorang wanita ke apartemennya. Mereka tampak sangat mesra. Firasat burukku terbukti. Jane tidak akan kubiarkan bersama lelaki seperti itu. Aku harus memberitahukan ini secepatnya meski hubunganku dengan Jane belum membaik semenjak kunjungannya ke apartemenku.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Jane. Kutekan bel rumahnya. Sudah dua kali aku menekan bel namun masih tidak ada jawaban. Saat aku hendak menekan bel lagi, seseorang sudah membuka pintu. Di sanalah Jane, berdiri di hadapanku dalam celana pendek dan sweaternya. Pada awalnya ia terkejut, tapi dengan cepat ia memasang wajah tanpa ekspresi.
“ Mau apa kau ke sini?” ucapnya ketus.
“ Kau harus mengetahui sesuatu.” Kutatap tajam matanya.
Kami berdiri di ambang sambil saling menatap dalam diam. Cukup lama hingga akhirnya ia pun angkat bicara.
“ Masuklah.” Ia mundur untuk memberiku jalan.
Aku langsung menuju sofa dan duduk. Setelah menutup pintu, ia pun menghampiriku dan duduk di seberangku. Meski suasana sangat canggung, akhirnya ia bertanya, “ Apa yang akan kau katakan? Bicaralah.”
“ Sebelumnya maukah kau berjanji akan mempercayaiku?” tanyaku ragu-ragu.
“ Cepatlah! Ini sudah larut malam.”
“ Ini mengenai Evan. Tadi ketika aku sedang berjalan-jalan, aku tak sengaja memergokinya membawa seorang wanita ke dalam apartemennya. Hindari dia, Jane. Kumohon.”
“ Kau bohong. Kau bahkan tidak mengenalnya! Sekarang pergilah.”
“ Tapi Jane. Deng—“
“ Pergi!”
Akhirnya aku pun pergi. Padahal kubiarkan saja dia bahagia. Aku ingin melihatnya bahagia meski bukan denganku. Tapi aku tak bisa membiarkannya sakit hati pada akhirnya nanti.
Beberapa bulan kemudian, aku melihat Jane dan Evan bertunangan. Aku tak bisa membiarkan mereka menikah. Tapi segala usahaku sia-sia. Kepercayaan Jane terhadapku sudah hilang. Ia lebih memercayai Evan sekarang. Dan buruknya, Evan adalah seorang pembohong ulung. Aku tahu itu dengan sangat jelas. Entah bagaimana caranya. Aku mengetahuinya begitu saja.
Berkali-kali Evan mengancam akan membunuhku jika Jane sampai tahu saat aku memergokinya berselingkuh. Tapi siapa yang lebih kuat di sini? Sudah pasti aku. Namun jika dia tahu rahasiaku, dia harus kubunuh. Maka aku pun mengalah. Kebenaran pasti akan terungkap suatu saat nanti.
Hingga suatu malam saat mereka sedang makan malam bersama. Kulihat Evan keluar menemui selingkuhannya. Jane ditinggalkannya di dalam. Selingkuhannya tampak kesal dan Evan dengan susah payah menjelaskan. Bagaimana bisa dia mengundang dua wanita sekaligus di satu tempat? Itu keterlaluan.
Saat wanita itu pergi, aku membawa Evan ke samping restoran.
“ Kau ini apa?” Dia sangat terkejut menyadari betapa kuat dan cepatnya aku meski aku sudah berlari selambat mungkin. 
“ Aku Will Lightwood. Kau masih berani menipu Jane. Aku tak bisa membiarkanmu melakukan ini padanya!”
“ Kau ini siapa Jane, huh? Kau bukan lagi sahabatnya! Kau tak berhak atas apa-apa.”
Dengan cepat kuserang dia. Sebisa mungkin aku tak menggigit dirinya. Jijik rasanya jika darahnya ada di tubuhku. Tapi ternyata ia cukup tangguh. Kini aku memaksimalakn kekuatanku yang sesungguhnya dan ia pun kalah telak. Ia berhasil kusudtkan ke dinding.
“ Ada kata-kata terakhir, Evan?”
“ Kau ini apa, huh?” Ekspresinya takut sekaligus kesal.
Aku diam sejenak tanpa mengendurkan kuncianku padanya. Kemudian ia meludah padaku dan kini kemarahanku sudah sampai puncak.
“ Kau akan tahu sebentar lagi.”
Dengan cepat kugigit lehernya dan kuhisap darahnya hingga habis. Meski merasa jijik aku terpaksa melakukannya.
“ Will?” Tiba-tiba terdengar suara Jane dari arah belakang. Aku spontan berbalik mengahadapnya dengan mulut penuh dengan darah.
“ Jane.” Aku tak dapat berkata apa-apa. Kami sama-sama terkejut.
“ Apa yang telah kaulakukan? Siapa kau? Ke mana sahabatku?” Ia pun menangis.
Aku ingin sekali mendekati dan memeluknya. Tapi itu tidak mungkin.
“ Ini aku, Will. Ini terjadi begitu saja. Ini bukan kehendakku. Kau tahu? Ia baru saja menemui selingkuhannya di saat kalian sedang makan malam. Ini semua demi kau. Aku tak bermaksud membunuhnya. Aku—aku menyesal. Maafkan aku.”
“ Aku tahu kau berubah, Will. Tapi aku tak menyangka kau akan membunuh orang.” Dan ia pun pergi begitu saja tanpa mendengarkan penjelasanku selanjutnya.
Setiap hari kulihat Jane selalu murung. Aku merasa bersalah padanya. Hingga suatu hari aku melihatnya di atas sebuah gedung. Ia hendak bunuh diri. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin berada di bawah sinar matahari secerah ini. Kulihat dirinya semakin dekat ke pinggir gedung. Akhirnya aku pun mencoba untuk ke sana. Dan tidak terjadi apa-apa. Hanya saja tubuhku berkilauan. Aku tak begitu mengerti. Dengan cepat aku memanjat gedung tanpa dilihat orang lain, kecuali Jane. Aku bersyukur karena tempat ini jarang dilalui orang.
“ Jane, kumohon. Jangan lakukan ini. Bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan prestasimu selama ini? Bagaimana dengan teman-temanmu? Bagaimana dengan aku?” Perlahan aku menghampirinya.
“ Diam di sana! Aku tidak tahan dengan semua ini! Sahabatku kau ambil. Tunanganku kau ambil. Kau mengambil semuanya dariku!”
“ Aku masih tetap Will, Jane. Hanya fisikku yang berubah. Dan semua tindakanku adalah demi kebaikanmu. Tolong percayalah.”
“ Tidak. Aku ingin bertemu Evan sekarang juga.” Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia pun berjalan lebih ke sisi lagi hendak menjatuhkan diri.
Dengan cepat kupeluk ia dari belakang dan menariknya mundur. Ia mencoba melepaskan diri tapi aku jauh lebih kuat.
“ Kumohon Jane. Jangan lakukan ini padaku. Aku mencintaimu Jane. Sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku seperti ini.” Aku berbisik di telinganya.
Ia berhenti melawan. Setelah yakin ia tidak akan mencoba bunuh diri lagi, aku melepaskannya. Rasanya lega perasaanku sudah tersampaikan meski terlambat.
“ Jane?” Ia memunggungiku cukup lama tanpa berkata apa-apa.
Akhirnya aku menyentuh pundaknya dan menghadapkan tubuhnya padaku. Pipinya basah oleh air mata. Melihat ia menangis akibat ulahku membuatku panik.
“ Ada apa Jane? Apakah kau kesakitan saat kupeluk tadi? Bicaralah”
Sambil menggelengkan kepala ia berkata, “ Kau baru saja menyatakan perasaanmu. Kenapa kau tidak mengatakannya sejak dulu?”
“ Aku hendak mengatakannya padamu tepat saat aku berubah Jane. Aku tak bisa muncul di hadapanmu dalam keadaan seperti ini. Tapi kau memaksaku Jane.”
“ Aku tak peduli kau ini apa. Yang terpenting adalah kau masih Will yang aku kenal.”
“ Aku masih Will yang kau kenal. Jangan khawatir. Percayalah.”
Kami bertatapan cukup lama. Aku tahu kini dia memercayaiku lagi. Itu terpampang jelas di matanya. Aku pun memberanikan diri untuk menciumnya. Dan ia pun membalasnya.
Tiba-tiba dia mundur dan berkata, “ Kau sangat silau Will. Kau bisa merusak mataku. Bawa aku ke apartemenmu dan ceritakan semuanya.”
Sambil tersenyum senang aku membopongnya di punggungku dan berkata, “ Pegangan erat-erat.” Aku pun membawanya menuju ke kehidupan yang akan kami lalui bersama nanti.

•••

0 comments:

Post a Comment