あくら: 2014

Pages

Saturday 8 February 2014

Way of Love


Bagaimana jika sesuatu di masa lalu menjadi sesuatu di masa kini?

Foto kenangan itu terlihat bertambah indah ketika  matahari terbenam menyinarinya. Foto itu memperlihatkan sepasang anak laki-laki dan anak perempuan yang berumur sekitar 5 tahun dan sedang tersenyum gembira dengan gigi-giginya yang belum sepenuhnya tumbuh. Ia tersenyum ketika mengingat masa-masa yang dilalui bersama sahabat kecilnya itu. Setiap ia merasa rindu dengan sahabatnya itu, ia selalu memandangi foto yang sedang ia amati sekarang. Mereka sudah berpisah sejak sama-sama sudah lulus dari sekolah dasar karena orangtuanya memutuskan untuk pindah ke kota sedangkan sahabatnya itu masih tetap tinggal di desa.
“ Tessa! Ayo sarapan! Nanti kau terlambat di hari pertama sekolahmu,” teriak bibinya dari dapur.
“ Ya!” balasnya.
Ia baru menyadari bahwa ia telah menitikkan air mata selama memandangi foto itu. Cepat-cepat ia menghapusnya dan bergegas ke dapur.

Meskipun ia sudah tinggal beberapa tahun di kota besar itu, tetapi sekolah baru tetaplah sekolah baru baginya. Di kala murid-murid lainnya sudah mulai bercengkrama dengan teman-teman barunya, Tessa masih harus duduk sendirian sambil menyantap makanannya. Namun ia merasa beruntung karena masih ada buku yang selalu menemaninya.
Tiba-tiba ada sorak sorai di pintu masuk kantin yang menarik perhatiannya. Ia melihat kerumunan gadis yang berteriak-teriak histeris di sana. Rupanya mereka mengerumuni seorang pemuda dengan rambut hitam legam. Nampaknya idola sekolah ingin mengisi perutnya juga. Meski ia tidak begitu tertarik, tetapi rasa penasaran yang begitu besar mengalahkannya. Hingga akhirnya orang itu berjalan dan memecah kerumunan yang mengelilinginya.
Ia terkesiap melihat keindahan pemuda itu. Mata birunya yang seperti warna langit di malam hari sungguh memesonanya. Tubuhnya tinggi nan langsing namun tetap berotot—Tessa dapat melihatnya melalui kemeja putihnya yang sedikit transparan. Jas sekolah yang seharusnya dipakai oleh seluruh murid, ia sampirkan di bahunya. Tessa bertanya-tanya, mengapa ia tampak tidak rapi namun tetap mengagumkan. Ia bahkan sempat berpikir bagaimana seandainya jika pemuda itu menyukainya. Tapi ia cepat-cepat menyingkirkan pikiran itu dan kembali pada makan siangnya. Tessa tidak menyadari bahwa pemuda itu meliriknya untuk beberapa saat ketika ia menyantap makanannya yang lalu membaca buku dengan tenangnya. Pemuda itu tertarik padanya.

Langit terlihat begitu mendung saat ia berjalan tergesa-gesa di koridor. Tessa terlalu asyik belajar hingga petugas perpustakaan mengingatkannya bahwa perpustakaan akan segera tutup. Namun, saat ia melewati auditorium sekolah, ia mendengar sebuah alunan biola yang begitu memilukan. Ia pun tidak mengerti mengapa dapat memahaminya padahal ia sendiri tidak terlalu mengerti tentang musik. Tanpa sadar ia masuk ke dalam auditorium dan mendapati seorang pemuda jangkung dengan rambut berwarna keperak-perakkan—Tessa sendiri pun tak begitu yakin karena baru kali ini ia melihat yang seperti itu. Meskipun ia hanya bisa melihat pemuda itu dari kejauhan, tetapi ia yakin bahwa pemuda itu merupakan keturunan Asia.
Tessa menyadari bahwa ia hanya berdiri mematung di sana. Akhirnya, ia pun mencari tempat untuk duduk. Ia sengaja mencari posisi yang agak tersembunyi namun tetap dapat melihat pemuda itu dengan cukup jelas. Ketika ia hendak duduk, tanpa sengaja ia menjatuhkan buku-buku di rangkulannya dan pemuda itu menghentikan permainannya, menyadari kehadiran Tessa. Dengan spontan Tessa menatap pemuda itu, yang rupanya sama-sama sedang menatapnya terkejut dengan mata keperak-perakkan yang sama.

Tessa takut kalau ia telah membuat pemuda itu marah karena mengganggu ketenangannya. Jadi ia bergegas pergi dari sana.
“ Tunggu!” teriak pemuda itu. Suaranya sangat lembut, tidak ada tanda kemarahan di sana.
Tessa terpaku untuk beberapa saat. Lalu, sedikit demi sedikit ia berbalik menghadap pemuda itu dan mendapati bahwa ia sedang tersenyum kepadanya.
“ Kemarilah,” ujarnya.
Pada awalnya, Tessa ragu-ragu untuk menghampirinya. Tapi pemuda itu sama-sama memesonanya seperti pemuda yang ia lihat di kantin, namun dengan cara yang berbeda. Jadi, ia pun menghampiri pemuda itu dan duduk di sampingnya.
“ Siapa namamu? Aku James Carstairs. Tapi teman-teman memanggilku Jem.” Dengan santai, ia mengulurkan tangannya pada Tessa untuk bersalaman.
“ Theresa Gray,” jawabnya sambil menyambut tangan Jem. Ia merasakan jari-jari Jem yang mengusap pelan tangannya sebelum melepaskannya.
“ Oke. Senang berkenalan denganmu, Theresa.” Lalu ia berdeham dan melanjutkan, “ Omong-omong, kenapa kau belum pulang? Sepertinya di luar akan ada badai.”
“ Hmm… Tadi aku terlalu asyik di perpustakaan. Kau juga kenapa masih di sini?”
Jem tersenyum santai.
“ Aku sudah biasa bermain biola di sini sepulang sekolah. Auditorium ini sudah kuanggap sebagai rumah keduaku.”
“ Wow. Omong-omong permainanmu tadi bagus meski terdengar… memilukan.”
Jem terkejut mendengarnya.
“ Kau dapat memahaminya?”
“ Y—ya. Tentu saja. Memangnya kenapa?”
“ Selama ini orang hanya menganggap alunan biolaku indah tanpa memahaminya. Hanya Will yang bisa.”
“ Will?” tanya Tessa kebingungan.
“ Oh maaf. Will adalah sahabatku sejak kecil. Kami sudah seperti keluarga atau mungkin lebih dari itu. Ia sangat baik padaku bahkan saat aku terpuruk. Apapun ia lakukan untukku dan jika suatu saat ia membutuhkan pertolonganku, aku pun akan melakukannya juga meskipun aku harus mengorbankan nyawaku.”
Tessa kaget mendengarnya. Bagaimana bisa di jaman sekarang ini ada dua orang yang sangat menyayangi satu sama lain melebihi nyawanya sendiri, selain sepasang kekasih?
“ Sepertinya kalian sangat dekat. Aku juga mempunyai seorang sahabat ketika kecil. Tapi sejak aku pindah ke kota, kami tidak pernah saling berkomunikasi lagi.” Tessa tersenyum sedih.
“ Jangan khawatir. Suatu saat kau pasti akan bertemu dengannya,” ucap Jem menenangkan.
“ Baiklah. Maaf sudah mengganggumu. Aku harus segera pulang. Sampai jumpa.” Tessa berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar. Namun Jem menggenggam sikunya, menghentikan langkahnya.
“ Izinkan aku untuk mengantarmu. Badai akan segera datang. Motorku bisa mengantarmu lebih cepat,” ujarnya sambil tersenyum.
Tessa hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

“ Terima kasih sudah mengantarku,” ujar Tessa yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya.
“ Sama-sama. Aku senang bisa mengantarmu. Cepat masuk ke dalam.”
“ Tidak. Kau pulanglah. Hati-hati di jalan.”
“ Baiklah. Sampai ketemu besok. Dan omong-omong, terima kasih.”
“ Terima kasih untuk apa?” tanya Tessa kebingungan.
Namun Jem hanya tersenyum dan berlalu meninggalkannya. Tessa menunggu hingga motor putih itu hilang di tikungan lalu berbalik dan segera masuk ke dalam rumahnya. Ia tidak menyadari bahwa seseorang telah mengamatinya dari jendela rumah di seberang rumahnya.

Keesokan harinya, Tessa berangkat ke sekolah dengan wajah yang berseri-seri. Tetapi, saat ia sedang berjalan dengan santai menuju kelas pertamanya, tiba-tiba ada sepasang tangan yang menutupi kedua matanya. Ia sama sekali tidak tahu siapa yang melakukannya. Karena hanya Jem yang ia kenal, maka ia dengan ragu berkata, “ Jem?”
Sepasang tangan itu hilang dari wajahnya sehingga Tessa berpikir bahwa tebakannya benar. Namun saat ia berbalik ia mendapati bahwa bukan Jem yang ada di hadapannya, tapi pemuda yang tidak dikenalnya. Pada awalnya Tessa tidak menyadari siapa pemuda itu. Tapi wajah itu tidak mungkin ia lupakan.
“ Axel?” Tessa terkejut melihat sahabat yang selama ini ia rindukan berada tepat di hadapannya.
“ Siapa Jem?” tanyanya, sedikit cemburu.
“ Apa? Oh. Dia temanku satu-satunya di sini. Ternyata seorang kutu buku sulit untuk mendapatkan teman di sini.” Tessa tertawa gugup.
“ Benarkah? Mereka belum tahu saja betapa menakjubkannya dirimu! Jangan khawatir. Aku yakin adik-adikku tidak keberatan menjadi temanmu. Dan tentu saja, aku juga. Namun sayangnya aku berada satu tingkat di atasmu, jadi aku tidak bisa sering-sering di sampingmu. Tapi aku akan melakukan yang terbaik,” ujar Axel sambil menyentuh dagunya dengan lembut.
“ Jadi Daisy Dark dan Lily Black juga ikut?”
“ Tentu saja! Kami sekeluarga sudah pindah ke sini sejak seminggu yang lalu.”
“ Kenapa kau tidak memberitahuku? Lalu sekarang di mana kau tinggal?”
“ Hmm… Kejutan. Nanti kau akan tahu. Aku akan mengantarmu ke rumah sepulang sekolah nanti.”
“ Seperti biasa. Penuh dengan teka-teki. Baiklah. Kau tahu? Aku sangat merindukanmu.”
“ Aku juga.” Ia menyentuh pipi Tessa lalu bergerak menuju pundaknya. Kemudian, Axel mengecup keningnya dengan lembut dan pergi meninggalkan Tessa yang berdiri terpaku. Ia tidak menyangka Axel akan melakukan hal itu. Hal yang hanya dilakukan oleh seorang kekasih. Tessa pikir mereka hanya bersahabat. Namun tampaknya Axel tidak menganggapnya begitu. Tessa menjadi bingung untuk menghadapinya karena saat ini ia sedang tertarik dengan pemuda yang dilihatnya di kantin kemarin dan juga Jem, teman pertama dan juga pemuda pertama yang memperlakukannya sebagai seorang perempuan.

Selagi mencari buku di antara rak-rak, Tessa masih memikirkan sikap Axel yang sedikit berubah terhadapnya. Ia tahu mereka sudah lama tidak bertemu, tapi setidaknya ia kenal Axel, sahabatnya, bukan kekasihnya. Tiba-tiba ia tersandung sepasang kaki seseorang dan jatuh di pangkuan orang itu.
“ Maaf. Maafkan aku,” ucap Tessa panik tanpa berani menatap orang itu. Ia segera bangkit dan berdiri.
Pemuda itu pun ikut berdiri sambil meregangkan tubuhnya.
“ Ah… Kau mengganggu tidurku saja. Apa kau tidak apa-apa?” Suaranya yang serak namun tetap indah membuat Tessa mendongak. Ia terkejut karena orang yang ada di hadapannya adalah pemuda yang dilihatnya di kantin.
“ Kau?”
Alis pemuda itu terangkat.
“ Ya. Aku. Aku melihatmu kemarin di kantin tapi kurasa kau tidak melihatku. Jadi kau sudah tahu siapa aku, namaku?”
“ Tidak,” jawab Tessa ketus. Ia berpikir, sombong sekali pemuda itu.
“ Benarkah? Kau masih belum tahu? Biasanya, meskipun murid baru, hanya memerlukan satu atau dua hari untuk mengetahui siapa aku. Aku tak percaya kau tidak tahu William Owen Herondale.”
“ William? Will? Apakah kau sahabat Jem?”
“ Bagaimana kau tahu? Kau sudah bertemu dengannya?” Will tampak terkejut.
“ Ya. Aku—“
“ Will!” jerit seorang gadis dari ujung koridor rak.
Will panik lalu tanpa sadar menarik Tessa dan meloncat keluar menuju halaman samping sekolah melalui jendela. Ia menariknya menuju bagian lain dari bangunan yang tidak terlihat dari jendela perpustakaan.
“ Kenapa kau ikut menarikku?” tanya Tessa kesal. Padahal di dalam hatinya ia senang bisa berdekatan dengan Will.
Will kebingungan untuk sesaat. Ia baru menyadarinya.
“ A—aku juga tidak tahu. Kurasa tadi itu hanya refleks. Lupakan. Aku harus ke kelas,” jawabnya ketus lalu berlalu.
Setelah Will sudah hilang dari pandangannya, ia tersenyum senang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lalu kembali ke perpustakaan.

Ketika Tessa sedang berjalan di koridor, ia melihat Axel sedang bersandar di lokernya. Rupanya dia sudah menunggunya.
“ Maaf sudah membuatmu menunggu lama.”
“ Tidak apa-apa. Lagipula kelasku keluar terlebih dahulu. Ayo!”
“ Tunggu dulu. Aku harus berurusan dahulu dengan lokerku.” Tessa tersenyum senang.
“ Baiklah.” Axel mengucapkannya dengan dilama-lamakan sambil mengacak-acak rambut coklat Tessa.

“ Axel, ini kan jalan menuju rumahku. Kau berjanji akan menunjukkan rumahmu.” Tessa terlihat jengkel.
“ Bersabarlah. Sekarang tutup matamu.”
“ Kenapa aku harus menutup mataku?”
“ Tutup matamu atau aku yang melakukannya.” Suara Axel terdengar serius.
“ Oke. Kau menyetir saja. Aku akan menutup mataku sampai kau suruh aku untuk membukanya. Begitu kan?”
“ Nah. Ini baru gadisku. “
Tessa membeku namun tetap menuruti perintahnya.

“ Kau sudah bisa membuka matamu.” Nada Axel terdengar riang.
Ketika ia membuka matanya, betapa terkejutnya ia. Tessa sangat mengenali rumah yang di hadapannya karena rumah itu tepat berada di seberang rumahnya sendiri.
“ Axel! Teganya kau!” Tessa memukul-mukul pelan dada Axel. Ia baru menyadari bahwa kini tubuh sahabatnya itu tampak tangguh.
“ Apa? Aku sengaja memilih rumah ini supaya bisa dekat denganmu.” Axel tertawa jahil sambil menggeggam kedua pergelangan tangan Tessa.
“ Aku tidak yakin. Pasti ada alasan lain. Karena jika alasanmu itu, kau tidak perlu memilih rumah ini. Kau bisa membeli rumah di blok lain yang tidak terlalu jauh dari sini.” Tessa melemparkan tatapan curiga.
“ Aku ketahuan. Ya. Alasan utamaku adalah untuk mengawasimu.”


Buku di hadapannya tidak bisa mengalihkan pikiran yang terus mengganggunya saat ini. Tingkah laku Axel membuat Tessa bergidik setiap kali mengingatnya. Ia tidak bisa menganggap Axel lebih daripada sahabat yang sangat ia sayangi. Lalu, bagaimana ia menghadapi Axel yang baru dikenalnya ini?
“ Halo, Theresa,” sapa Jem yang sudah duduk di depannya. Tessa terkejut melihatnya.
“ Jem?”
“ Sepertinya kau sedang banyak pikiran. Ada apa?” Jem tampak khawatir.
“ Oh. Tidak ada apa-apa. Sejak kapan kau di sini?”
“ Tidak lama. Awalnya aku ingin kau mendengar aransemen baruku di auditorium. Tapi sepertinya kamu sedang sibuk. Tidak apa-apa. Mungkin lain kali,” ujar Jem lalu bangkit berdiri hendak pergi.
“ Tunggu! Ak—aku tidak sibuk. Aku senang untuk mendengarnya. Ayo!”
Jem pun berbalik untuk menghadapnya dan tersenyum.

Kali ini Tessa mendengar sebuah alunan indah, bukan lagi alunan yang memilukan. Alunan itu terdengar lebih seperti orang yang sedang jatuh cinta. Tessa tidak tahu siapa yang sedang membuat Jem jatuh cinta. Tak lama Jem menghentikan permainannya. Rupanya ia sudah selesai.
“ Bagaimana?” tanya Jem penuh harap.
“ Sangat indah. Apa kau sedang jatuh cinta?”
Jem terkesiap.
“ Ya. Kelihatannya kau sangat memahami nadanya. Aku tidak menyangka bahwa kamu sangat memahami musik.” Jem tersenyum, tampak malu-malu.
“ Tidak. Sebenarnya, aku tidak terlalu memahami musik. Tetapi musikmu, aku bisa memahaminya.” Tessa tersipu malu.
“ Tessa!” Terdengar suara Axel dari arah pintu. Tessa dan Jem terkejut.
“ Axel?” ucap Tessa ragu-ragu.
Axel berjalan mendekat. Tessa dapat melihat kemarahan di wajah Axel, yang membuatnya tidak mengerti. Namun, dengan cepat amarah itu digantikan oleh keramahan.
“ Apa yang sedang kau lakukan di sini, Tessa? Dan, siapa ini?” tanyanya, dengan penuh kelembutan.
“ Ak—aku… Oh, maaf. Kenalkan, ini Axel Mortmain. Dan, Axel, ini—“
“ James. James Carstairs. Tapi teman-teman biasa memanggilku dengan sebutan Jem,” potong Jem sambil mengulurkan tangannya.
“ Oh, jadi ini orangnya? Halo, Jem. Senang berkenalan denganmu. Terima kasih sudah mau menjadi teman pertama gadis kesayanganku ini,” balas Axel sembari menyambut uluran tangan Jem.
“ Benarkah itu? Terima kasih. Aku hanya senang bisa memiliki teman yang bisa memahamiku dengan baik.”
“ Baiklah. Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi sayangnya, aku harus membicarakan sesuatu dengan Tessa. Apa kau tidak keberatan? Jem?”
“ Ah, tentu saja tidak. Theresa, terima kasih sudah mau menjadi orang pertama yang mendengarnya.”
“ Sama-sama, Jem. Aku senang.”
Lalu Axel menarik tangan Tessa menuju pintu auditorium dan membawanya ke samping gudang sekolah.

“ Lepaskan aku, Axel!” jerit Tessa.
Axel pun melepaskan genggamannya pada tangan Tessa. Tapi ia tidak berkata apa-apa.
“ Apa sih yang kamu lakukan? Aku bukan kekasihmu! Aku bukan milikmu! Aku adalah milikku sendiri, begitu juga hatiku. Kau tidak bisa bertingkah seperti pacarku. Kau sudah kuanggap sebagai sahabat, bahkan kakakku sendiri, Axel. Aku tadi malu sekali. Dia teman baikku. Kau berubah, Axel.” Tessa mencoba menahan air matanya. Ia benci kalau harus menangis.
“ Tidak. Tidak bisa,” balas Axel dingin. Kemudian ia berbalik. Wajahnya penuh dengan amarah.
“ Kau harus menjadi milikku, Tessa. Harus. Untung saja aku memiliki adik yang sangat berguna.”
“ Apa? Oh. Jadi yang kau bilang menemani itu memata-matai, huh? Pantas saja aku tidak pernah melihat mereka meski kau bilang bahwa mereka juga bersekolah di sini. Aku jadi mengerti sekarang. Kau bukan lagi Axel yang kukenal. Selamat tinggal.” Tessa pun berbalik, hendak pergi secepat mungkin.
Namun, tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh sapu tangan di tangan Axel yang menutup hidungnya. Seketika itu pun, ia tak sadarkan diri.

Tessa tidak tahu apa yang sedang terjadi ketika ia mulai siuman. Tetapi saat ia teringat perlakuan Axel, ia mulai dibanjiri oleh amarah. Sayangnya, Tessa baru menyadari bahwa tangan dan kakinya terikat. Ia telah disekap oleh sahabatnya sendiri di gudang sekolah. Tessa mencoba berteriak sekeras mungkin, namun tampaknya tak seorang pun menyahut. Ia bahkan tidak tahu sudah berapa lama ia tak sadarkan diri.
“ Aduh… Kak Tessa. Jangan berisik dong!” Tessa sangat mengenali suara itu.
“ Daisy?”
“ Ya. Aku tidak menyangka kau bakalan mengkhianati kakak kami. Dia sudah lama mencintaimu. Tapi kau meninggalkannya. Kami pun ingin kau jadi miliknya. Kau sudah mengecewakan kami.”
“ Kami? Lily ada di sini juga?”
“ Ya tentu saja! Kau kan tahu kalau kami tak terpisahkan,” balas Lily jengkel.
Tessa kesulitan untuk mengetahui posisi mereka karena pencahayaan di gudang yang sangat minim. Namun, tak lama kemudian cahaya bulan menyinari gudang melalui ventilasi, seakan-akan bulan mendengar suara hatinya. Rupanya Daisy dan Lily sedang duduk berdampingan di pintu.
“ Maafkan aku. Aku tidak tahu. Axel sudah kuanggap sebagai sahabat dan kakakku sendiri, tidak lebih. Aku tidak bisa menganggapnya lebih. Terlebih lagi, sekarang dia sudah berubah. Aku sudah tidak mengenalnya lagi.”
“ Itu karenamu, Tessa! Dia sangat mencintaimu!” teriak Daisy.
“ Itu obsesi! Cinta sama sekali bukan seperti itu!” balas Tessa.
“ Kau tidak tahu bagaimana rasanya. Rasa cintanya padamu begitu besar. Dan sekarang, kau menyakiti hatinya.” Lily berlutut di hadapan Tessa. Tessa tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Percuma saja jika ia terus membantah, ia hanya ingin keluar dari gudang itu. Jadi ia pun berteriak minta tolong sekencang mungkin.
Tiba-tiba Lily menampar Tessa dengan keras. Tessa terkesiap. Ia tidak menyangka Lily akan sekasar itu padanya. Wajah Lily kini berubah menjadi menakutkan.
“ Lily?” ucap Tessa lirih.
Sekali lagi, Lily menampar Tessa dengan lebih keras dan Tessa tidak mampu menahan jeritannya yang diikuti dengan suara tawa Daisy.
“ Theresa!” Suara Will terdengar dari luar.
“ Will?” ujar Tessa tak percaya. Lalu kali ini ia berteriak, “ Will! Will!”
“ Diam!” teriak Lily dan kembali menampar Tessa. Jeritan Tessa pun kembali terdengar.
Tak lama kemudian, pintu gudang berhasil Will dobrak. Daisy dan Lily hendak menyerang Will. Tapi, sebelum itu Lily berbisik di telinga Tessa, “ Ternyata ada satu lagi, huh?”
Tessa tidak menyangka kedua gadis kembar itu pintar berkelahi. Namun, Will pun tampaknya lebih mahir sehingga membuat Daisy dan Lily terpaksa kabur dari sana.
“ Theresa, apa kau—tentu saja kau apa-apa.” Wajah Will terlihat begitu khawatir. Bahkan ada ekspresi rasa sakit di sana, Tessa kebingungan. Will sama sekali tampak tidak terluka.
“ Bagaimana kau tahu namaku? Seingatku, aku belum memberitahu namaku.” Tessa sendiri tidak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Will memutar bola matanya.
“ Jem cerita padaku.” Ia berjalan menghampiri Tessa untuk membuka ikatan yang ada pada tangan dan kakinya.
“ Oh.” Hanya itu yang bisa Tessa ucapkan. Tessa terkesiap dengan sentuhan tangan Will di tangan dan kakinya. Meski tangannya pernah digenggam Will ketika melarikan diri dari perpustakaan, tetapi sentuhannya kali ini berbeda. Kali ini terasa lebih intens daripada sebelumnya.
“ Izinkan aku untuk mengantarmu pulang. Tidak baik jika seorang gadis berjalan sendirian malam-malam begini.”
Alasan yang diberikan Will terdengar kuat sehingga Tessa pun tidak dapat menolaknya.

“ Terima kasih.” Tessa berdiri canggung di depan gerbang rumahnya.
“ Tidak usah dipikirkan. Aku tadi hanya kebetulan lewat. Lain kali hati-hati. Aku sudah curiga dengan mereka berdua, Theresa. Selamat malam.”
“ Tunggu! Kumohon, panggil aku Tessa saja.” Tessa sangat ingin mendengar nama panggilannya disebut oleh Will. Selama ini, hanya orang-orang terdekatnya lah yang memanggilnya dengan nama Tessa.
Will tidak langsung membalas. Ia hanya menatap Tessa seakan-akan ia bisa menembus diri Tessa melalui mata abu-abunya. Ekspresinya tak terbaca.
Kemudian, ia pun mengucapkannya, “ Tessa.”

Kejadian kemarin tidak dapat ia lupakan. Will begitu terlihat seperti seorang pahlawan baginya. Tessa dapat melihat otot-otot Will menegang melalui kemeja putih yang dipakainya saat berkelahi. Rambut hitamnya menjadi acak-acakkan namun tetap membuatnya tampak menawan. Tetapi wajah itu, wajah penuh amarah dan mata birunya yang menggelap, Tessa tidak dapat melupakannya.
Tessa berjalan di koridor sekolah tanpa memperhatikan jalan hingga ia menabrak seseorang.
“ Ma—“ Tessa menghentikannya setelah ia tahu bahwa orang yang ditabraknya adalah Axel. Aku tidak sekedar ingin menabraknya, aku ingin membunuhnya, pikirnya.
“ Tessa,” ujar Axel dengan nada memelas.
“ Jangan dekati aku! Aku muak melihatmu yang memakai wajah sahabatku.” Tessa melanjutkan langkahnya. Tetapi Axel menarik lengannya.
“ Lepaskan aku!” ucap Tessa dingin.
“ Aku tidak akan melepaskanmu sampai kapan pun,” balas Axel tegas.
“ Lepaskan. Aku. Sekarang. Juga.”
“ Tidak.”
“ Lepaskan aku! Atau—“
“ Atau apa? Kau akan—“
“ Kau akan menghadapiku.” Muncul suara Jem dari belakang Tessa. Kehadirannya membuat genggaman Axel melemah dan Tessa memanfaatkannya untuk menjauh dari Axel.
Axel nampak terkejut tetapi segera digantikan dengan tampang murka.
“ Kau pikir kau ini siapa, huh? Berani-beraninya kau mencampuri urusan kami. Kuperingatkan kau, jangan berani-berani mencampuri urusan kami lagi! Jika kau melanggarnya, aku tidak akan segan-segan—“
“ Membunuhku? Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya, Axel Mortmain. Kau tidak pantas untuk aku takuti.” Jem tersenyum mencibir.
“ Apa kau bilang?” teriak Axel. Lalu ia melayangkan pukulannya kepada Jem. Sebuah teriakan keluar begitu saja dari tenggorokan Tessa. Sorak sorai muncul dari para murid di sekitarnya. Saat ia hendak mendekati Jem, Will sudah terlebih dahulu berada di dekatnya. Jadi, ia mengurungkannya.
Tiba-tiba Will meninju wajah Axel kemudian menarik kerah kemejanya.
“ Apa yang telah kau lakukan?” teriak Will marah lalu melanjutkan, “ Pada awalnya kami hanya menduga-duga. Tapi tindakanmu ini akhirnya membuat kami yakin bahwa kau bukan orang yang baik. Kau tidak tahu seberapa besar penderitaan Jem! Kau telah membuatku sangat marah dan itu bukan pertanda baik.” Lalu ia melayangkan tinju-tinjunya ke wajah Axel dan mereka pun berkelahi hingga Miss Hathaway melerai mereka. Akhirnya, Axel, Will, dan Jem dipanggil ke ruangan kepala sekolah atas perbuatan mereka.
Saat berjalan di koridor sekolah, Tessa mendengar teriakan dan suara gaduh dari arah lapangan basket. Ia berjalan perlahan menuju sumber suara itu dan mendapati Will yang sedang melempar bola-bola basket ke segala arah. Bahkan Tessa pun hampir terkena salah satunya.
“ Will!” teriaknya sambil memberanikan diri untuk menghampiri Will.
“ Diam! Pergilah!” balas Will tanpa mengetahui siapa yang datang.
“ Will!” Kali ini Tessa berteriak lebih keras. Will pun berhenti dan terkejut saat melihatnya.
“ Tessa? Apa yang kau lakukan di sini?” Ekspresinya tidak terbaca.
Tessa terpana saat mendengar nama panggilannya disebut oleh Will. Nama itu terdengar pas di lidah Will. Nadanya terasa berbeda saat diucapkan olehnya.
“ Aku… Aku tadi sedang berjalan di lorong dan mendengar kegaduhan di sini. Apa yang terjadi?”
“ Seharusnya kau pulang. Hari sudah mulai gelap.” Will berbalik memunggungi Tessa.
Dengan ragu, Tessa menyentuh lengan Will, berharap bisa menenangkannya. Ia bisa merasakan otot Will menegang di bawah sentuhannya.
“ Will, ada apa denganmu? Apa yang terjadi?” tanya Tessa lirih.
Will tidak langsung menjawab. Lalu ia berbalik perlahan dan menatap Tessa. Ia menatap Tessa lekat-lekat. Kali ini mata birunya terlihat lebih terang dari biasanya. Tiba-tiba Tessa menggigil meski udara di sekitarnya sama sekali tidak dingin. Mata itu seperti dapat melihat menembus kulitnya, ia merasa telanjang.
“ Will?”
Will masih tampak seperti patung.
“ Will?” Tessa perlahan menurunkan tangannya dan memeluk tubuhnya sendiri, masih merasa kedinginan.
Will mengedip-ngedipkan matanya seperti seseorang yang baru sadar dari lamunan.
“ Apa yang dikatakan kepala sekolah?” tanya Tessa dengan nada hati-hati.
Will berdeham.
“ Berkat para saksi, Axel diskors. Aku dan Jem hanya dihukum dengan membuat essai. Aku sangat benci padanya. Ia tidak tahu apa yang sedang Jem alami.”
“ Jem kenapa?”
“ Jem—Jem, dia telah menderita penyakit sejak kecil. Aku sangat tahu apa yang dia rasakan.
Aku—“
“ Apa penyakitnya sangat parah?” potong Tessa.
“ Begitulah. Aku membencinya, sangat membencinya. Jika dia berani muncul di hadapanku lagi, akan kubunuh dia. Pertama kau, sekarang Jem, orang yang sangat aku sayangi. Aku bersumpah akan membunuhnya.” Will berbicara tanpa menatap Tessa.
“ Will. Tatap aku!” ucap Tessa tegas.
Dengan seketika Will menatapnya. Tessa tiba-tiba gugup. Tetapi dengan segera ia menyingkirkan kegugupannya dan menggenggam tangan Will meski ia tidak sepenuhnya menyambutnya.
“ Will. Axel adalah anak yang baik pada awalnya. Tapi, entah kenapa, ia menjadi terobsesi padaku. Ini semua salahku.” Will hendak melepaskan tangannya dari genggaman Tessa, tapi Tessa menahannya.
“ Kumohon. Jangan membenciku. Aku akan mengatasi masalahku ini. Dan mengenai Jem, aku tidak tahu persis apa hubunganmu dengannya. Kalian bersahabat tetapi terlihat lebih daripada itu bagiku. Aku iri pada kalian. Tapi, sejak pertama kali kita bertemu, aku sangat ingin mengenalmu, memahamimu. Pada awalnya, kau begitu terlihat sombong dan tangguh. Namun sekarang, setelah aku melihat kejadian hari ini, terutama saat ini, aku tahu kau tidak setangguh yang aku kira.”
Kali ini, Will tampak sangat terkejut. Lalu tiba-tiba ia menyambut genggaman Tessa dengan lembut dengan tangan yang satu dan menyentuh pipi Tessa dengan tangan satunya lagi. Dengan perlahan, ia menunduk dan bibir mereka pun bertemu. Bibirnya terasa lembut tapi sekaligus kasar. Ciuman mereka terasa begitu lapar. Sesekali terdengar erangan dari bibir Will maupun Tessa. Tessa merasakan buku-buku dan tasnya jatuh di kakinya. Tangan Will pada tangannya perlahan pindah ke pinggangnya sedangkan tangan satunya bergerak menelusup ke rambut coklatnya.
Namun tiba-tiba Will mendorong Tessa hingga terjatuh. Tessa merasa sangat terluka. Will mendorongnya seakan-akan dirinya adalah makhluk yang hina. Seketika itu juga amarah menguasainya.
“ Will! Ada apa denganmu?” teriaknya marah. Air mata perlahan menuruni pipinya. Ia sangat benci untuk menangis di depan orang, terlebih lagi di hadapan orang yang telah menyebabkannya menangis.
“ Cecily, maafkan aku. Maafkan aku.” Will berlutut sambil menunduk menutup wajahnya. Ia tidak menggubris Tessa.
Tessa terpukul mendengarnya. Ternyata Will sudah mempunyai gadis lain. Sekarang ia benar-benar merasa terhina oleh Will.
“ Oke. Aku pergi sekarang.” Tessa tidak peduli apakah kata-katanya didengar Will atau tidak. Ia mengambil tas dan buku-bukunya lalu pergi. Kini air mata tak dapat ia bendung lagi.

Tadinya, Tessa tidak berniat untuk ke sekolah pada hari berikutnya. Ia merasa sangat malu. Tapi akhirnya ia memberanikan diri untuk ke sekolah. Ia sekarang sedang duduk di auditorium dengan Jem yang duduk di sampingnya.
“ Jadi Will benar-benar melakukan itu padamu?”
“ Ya. Dia sempat menyebut nama ‘Cecily’. Ia meminta maaf padanya dan tampak sangat menyesal.” Tessa menceritakan kejadian itu tapi tidak secara detail. Ia merasa malu untuk menceritakannya namun Jem memaksanya.
Tangan Jem di pundak Tessa menegang saat mendengar nama ‘Cecily’. Tessa tidak tahu apa artinya itu.
Jem berdeham.
“ Sebenarnya, Cecily adalah kekasihnya dahulu.”
“ Dahulu? Apa maksudmu dia…” Tessa tidak berani melanjutkan.
“ Ya. Dia meninggal lima tahun yang lalu. Will sangat mencintainya, begitu pun juga Cecily. Mereka adalah pasangan serasi. Tapi, kanker itu merenggut nyawanya. Will sangat terpukul saat itu dan berjanji tidak akan mencintai siapapun lagi seumur hidupnya.”
Tessa terenyuh mendengarnya. Jadi prasangkanya pada Will sangatlah salah. Ia menatap Jem yang sama-sama sedang menatapnya. Dengan seketika pikirannya tentang Will hilang. Tatapan Jem begitu intens dan sarat akan kelembutan. Tanpa sadar ia mencondongkan tubuhnya pada Jem dan menutup jarak mereka. Awalnya, tubuh Jem kaku karena terkejut. Tapi tidak lama Tessa merasakan tubuh Jem menjadi rileks dan ia membalasnya. Ciuman Jem terasa lebih lembut. Tangan Tessa bergerak menuju rambut Jem dan ia merasakan tangan Jem yang memeluk pinggangnya dengan lembut. Tessa sadar bahwa ia mencintai Will dan juga Jem.
Tiba-tiba suara bel masuk berbunyi. Seketika itu juga mereka mundur dan membeku. Beberapa saat kemudian, senyum terukir di bibir keduanya diikuti dengan tawa. Mereka pun segera pergi ke kelas masing-masing.

Telepon genggam Tessa berdering.
“ Hallo?” ucap Tessa ragu-ragu.
“ Tessa.” Tessa terpaku saat mendengar suara itu lagi. Ia tidak tahu apalagi rencana Axel kali ini.
“ Axel. Apa maumu?” balas Tessa dingin.
“ Kau sudah tahu apa mauku. Aku ingin kau.”
“ Sampai kapan pun kau tidak akan mendapatkanku, Axel. Tidak akan pernah.”
“ Benarkah? Ingat, aku akan melakukan apapun untuk mendapatkanmu. Bahkan jika harus membunuh bibi dan kakakmu, akan kulakukan.”
“ Apa kau bilang? Jangan berani-berani sentuh mereka!”
“ Oke. Berarti kau harus mau menjadi milikku.”
“ Tidak. Akan. Pernah.”
“ Kau akan menyesal, Tessa.” Telepon itu pun terputus.
Tessa hanya bisa memandangi telepon genggamnya, tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Kemudian ia segera pulang untuk memastikan bahwa apa yang diucapkan Axel benar atau tidak. Ia berharap ucapannya hanya lelucon belaka.

Ketika ia sampai di rumahnya, rumah itu tampak sepi. Berkali-kali ia memanggil-manggil nama bibinya itu namun tidak ada yang menyahut. Hingga ia menemukan bibinya tergeletak bersimbah darah di meja makan. Bibinya sudah tiada. Tessa sangat terpukul dan sangat marah pada Axel. Kemudian ia cepat-cepat menelepon Jem dan menceritakan semuanya. Dan tanpa disadarinya, Axel dan kedua adiknya datang ke rumahnya. Axel melangkah masuk sedangkan kedua adiknya bersiap-siap untuk melaksanakan rencana Axel jika telah diberi tanda.
Ponsel Tessa bordering lagi. Tessa mengangkatnya tanpa melihat layar.
“ Hallo?”
“ Kau sudah melihat akibatnya.”
“ Axel. Kau keterlaluan. Sampai kapan pun aku tidak akan mau menjadi milikmu. Aku tidak takut padamu!”
“ Kau masih menolakku, Tessa? Apa ini karena kedua anak sialan itu, huh? Apa perlu aku sakiti mereka juga?”
“ Axel! Apakah kau sadar siapa yang telah kau sakiti selama kepindahanmu ke sini? Kau sudah menyakitiku, Axel! Dan jangan sentuh mereka! Satu titik pun aku tak sudi jika kau menyentuh mereka!”
Terdengar suara tawa getir Axel di ujung telepon.
“ Begitukah? Baiklah. Aku tidak akan menyentuh mereka. Tapi aku juga tidak sudi jika kau menjadi milik orang lain. Hanya aku yang boleh memilikimu!” Terdengar suara terputus di ponselnya.
Tessa tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia hanya memeluk bibinya yang sudah terkulai tidak bernyawa. Di sisi lain di samping rumah Tessa, Axel memerintahkan kedua adiknya untuk membakar rumah itu. Api mulai melahap rumah itu secara perlahan.

Will hanya mengikuti permintaan Jem untuk menemaninya ke rumah Tessa. Ia merasa malu setelah memperlakukan gadis itu dengan begitu kasarnya. Tetapi ia berusaha untuk tetap menepati janjinya kepada dirinya sendiri : ia tidak akan mencintai siapapun selain kepada Cecily.
Tetapi, ketika ia melihat rumah itu yang mulai terbakar, pertahanan dirinya mulai retak. Ia dan Jem nekad memasuki rumah yang sudah setengahnya terbakar. Di ruang keluarga, mereka pun berpencar untuk menemukan Tessa. Will berjalan menuju ruang makan sambil memanggil-manggil  namanya. Ia terbatuk-batuk karena menghirup asap dan penglihatannya pun terhalangi. Hingga ia melihat dua sosok tubuh yang tergeletak di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa pikir panjang ia menghampiri sosok itu dan mendapati Tessa yang tak sadarkan diri. Wajah itu penuh dengan coreng moreng dan tampak sangat terpukul. Seketika itu juga pertahanan diri yang baru saja ia bangun dengan kokoh runtuh begitu saja.

Tessa tidak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja rumahnya terbakar. Ia mengingat-ingat kembali apa yang sudah dikatakan Axel. Ia baru menyadari bahwa arti dari ‘tidak akan membiarkan siapapun untuk memilikinya’ adalah dengan membunuhnya. Sedikit demi sedikit ia merasakan seseorang merangkulnya dengan erat. Secara perlahan, ia pun membuka matanya dan terpaku melihat Will di depan matanya. Baru kali ini ia melihat Will menangis, menangis karena dirinya. Wajahnya tampak sangat terpukul dan ia bisa melihat gerakan di bibirnya. Ia berulang kali mengucapkan kata itu, kata yang sangat ia sukai untuk Will ucapkan. Di saat-saat terakhir, ia pun mendengar suara merdu yang selalu ia rindukan.
“ Tessa!” Lalu pandangannya pun berubah menjadi gelap sepenuhnya.

Tessa mencoba untuk membuka kelopak matanya. Pada awalnya ia merasa silau namun beberapa saat kemudian matanya sudah bisa beradaptasi. Ia tidak tahu ia berada di mana. Saat ia hendak menggerakkan tangannya, ia baru menyadari bahwa tangannya berada di bawah tangan seseorang. Ia menengok untuk melihat siapakah orang itu, dan ternyata orang itu adalah Will. Wajahnya tampak begitu sedih meski ia sedang tertidur. Bibirnya sangat dekat dengan jarinya sehingga ia tergoda untuk menyentuh bibir yang penuh itu. Tanpa sengaja ia membangunkan Will.
“ Tessa. Kau sudah siuman?” tanyanya khawatir. Tangannya bergerak ke kepala Tessa lalu mengusap-usapnya lembut.
“ Will? Aku di mana?” balas Tessa lirih.
“ Kau ada di rumah sakit. Tessa, dengarkan aku. Kumohon maafkan aku. Aku sangat menyesal. Sama sekali tidak ada niat dariku untuk menyakitimu. Cecily—“
“ Aku sudah tahu, Will. Aku tahu,” potong Tessa.
“ Kau sudah tahu?”
“ Ya. Jem memberitahuku.”
“ Jem.” Wajahnya berubah menjadi terlihat lebih sedih tapi ia segera menyingkirkannya. Lalu ia melanjutkan, “ Tessa, kumohon, jangan tinggalkan aku. Melihatmu berada di ambang kematian seperti itu membuatku sadar, aku tidak akan sanggup kalau aku harus hidup tanpamu.” Ia mengecup tangan Tessa cukup lama.
Tessa terenyuh dan air mata mulai mengalir turun di pipinya.
“ Kenapa menangis? Jangan khawatirkan wajahmu. Kau masih tetap cantik.” Will tersenyum jahil, namun ada keharuan di sana. Tangannya mengusap pelan pipi Tessa untuk menghapus air matanya.
Tessa menggeleng sambil tertawa lemah.
“ Aku bukan menangis karena itu. Ini karena aku terlalu bahagia. Terima kasih sudah menyelamatkanku, Will. Aku tak percaya bahwa aku masih hidup sehingga aku masih bisa melihatmu dan Jem.” Tiba-tiba ia menyadari ketidak hadiran Jem di sana.
“ Will, di mana Jem?”
Mata Will berubah menjadi gelap. Tetapi, bukan amarah yang dilihat Tessa. Tatapan itu adalah tatapan terpukul.
“ Will?”
Will pun berdeham.
“ Ia… Aku tidak tahu. Kami sama-sama ke rumahmu untuk menyelamatkanmu. Kami berpencar dan semenjak itu aku tidak melihatnya lagi. Petugas pemadam kebakaran menemukan jasnya yang terbakar dan mereka berasumsi...” Will membuang muka, tidak berani menatap Tessa.
“ Will? Apa yang mereka katakan?” Tessa meremas tangan Will, menuntut jawaban.
“ Mereka berkata bahwa… Jem sudah tiada. Mereka berasumsi bahwa jasadnya sudah menjadi abu. Itulah sebabnya mereka tidak dapat menemukan tubuhnya.”
Tubuh Tessa langsung lemas. Hanya genggaman Will yang membuatnya tetap sadarkan diri.
“ Ini salahku, Will. Tidak seharusnya aku menelepon dan meminta pertolongannya. Jika ia tidak ke rumahku, mungkin ia tidak harus pergi dengan cara seperti itu. Ini salahku, Will. Ini salahku.” Kini tangis Tessa pecah.
“ Tidak, Tessa! Ini bukan salahmu. Ini semua salahnya. Axel yang telah melakukannya. Begitu juga adik kembarnya. Tapi jangan khawatir. Mereka sudah tertangkap polisi. Dan jika kau tidak menelepon, kami, aku, tidak akan bisa menyelamatkanmu. Kau juga sudah menyelamatkanku karena kau masih hidup. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Tessa.” Will memindahkan tangannya dari rambut Tessa ke pipinya. Ibu jarinya mengusap lembut pipinya.
“ Will. Aku tahu. Kau adalah pemuda yang baik meski kudengar kau sering memainkan hati banyak gadis. Aku tahu kau bukan orang yang seperti itu. Kau—“
Kata-katanya terputus ketika bibir Will menyentuh bibirnya. Awalnya ciuman mereka canggung. Namun, ciuman mereka semakin lama semakin intens. Will mengangkat punggung Tessa dengan hati-hati karena kondisinya yang belum pulih benar. Tessa menyatukan kedua lengannya di belakang leher Will, menggantung kepadanya. Mereka mencurahkan segala perasaan mereka pada satu sama lain melalui ciuman itu.
 Tiba-tiba ada suara dehaman di dekat mereka. Will segera mengembalikan posisi Tessa seperti semula. Mereka berdua sama-sama salah tingkah.
“ Charlotte? Henry?” ujar Will kaget.
“ Will. Ternyata ini gadisnya. Kau tidak pernah bilang kalau ia secantik ini,” ucap Charlotte sambil merengut.
Lelaki dengan rambut jahe hanya tersenyum canggung, tidak berbicara. Bahkan ia terlihat dengan pikiran—dunianya sendiri.
“ Oh. Ya. Charlotte, Henry, kenalkan, ini Tessa. Tessa, ini orangtua angkatku, Charlotte dan Henry.”
“ Ah. Senang berkenalan dengan kalian.”
“ Kami juga, sayang. Dan kami juga turut berduka cita atas kepergian bibimu.” Charlotte berkata dengan hati-hati diikuti dengan senyum sedih.
“ Terima kasih.” Hanya itu yang dapat Tessa ucapkan.
“ Omong-omong, Tessa. Apakah kau masih memiliki anggota keluarga yang lain? Pihak rumah sakit terus menanyakannya.”
“ Oh, ya. Kakakku sedang kuliah di luar negeri. Tapi aku tidak ingin membuatnya khawatir. Aku tidak ingin ia mengetahui hal ini untuk sementara. Kumohon,” pinta Tessa.
“ Baiklah. Aku akan menjadi walimu untuk sementara. Jangan khawatir. Kalau begitu, kami harus mengurusnya terlebih dahulu. Sampai jumpa.” Charlotte meremas lengan Will sesaat lalu pergi meninggalkan ruangan bersama Henry.
Kemudian, setelah mereka sudah tidak terlihat lagi, Will berlutut di samping tempat tidur dan menggenggam tangan Tessa.
“ Tessa, aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku sangat mencintaimu. Sejak pertama kali aku melihatmu, kau sudah menarik perhatianku. Aku mengerti kenapa Axel juga menyukaimu. Tapi tindakannya sama sekali tidak dapat dibenarkan. Aku tidak akan membiarkannya menyentuhmu lagi.” Ia berhenti lalu melanjutkan, “ Tessa, maukah kau menjadi kekasihku?”
Tessa terkesiap. Sambil tersenyum ia menjawab, “ Iya, Will. Tentu saja.”
“ Terima kasih, Tessa. Aku mencintaimu,” ucapnya sambil mencium telapak tangan Tessa.
“ Aku juga mencintaimu, Will.”
Setelah itu, Will bangkit dan mencondongkan tubuhnya untuk mengecup kening Tessa.

Semenjak itu, mereka pun menjadi sepasang kekasih. Hingga mereka duduk di bangku perguruan tinggi, mereka masih menjaga hubungan mereka. Bahkan mereka masuk di perguruan tinggi yang sama. Sampai tiba saatnya waktu pertunangan mereka telah tiba. Kakak Tessa terpukul saat mengetahui bibi mereka telah meninggal dunia dan ia pun menjadi wali untuk Tessa, menggantikan bibi mereka.
Setelah mereka saling menukar cincin, tiba saatnya untuk pesta. Pesta mereka memang sederhana, tapi suasananya sangat syahdu. Lalu tiba-tiba ada seorang lelaki jangkung dengan rambut hitam yang sedikit pudar berjalan menghampiri mereka.
“ Tessa. Will,” sapanya.
Mereka berbalik untuk menatapnya. Wajah mereka nampak kebingungan.
“ Maaf. Tapi, anda siapa?” tanya Tessa ramah.
“ Maafkan aku karena sudah menghilang begitu saja tanpa ada kabar sama sekali. Aku pergi ke Korea untuk operasi plastik dan berobat hingga sembuh setelah kebakaran itu.”
Will dan Tessa membeku. Mereka sangat terkejut.
“ Jem? Kaukah itu, Jem?” Will mengguncang-guncang pundaknya.
“ Ya, saudaraku. Aku Jem,” balasnya lirih.
“ Oh, Jem.” Will memeluk tubuh Jem dengan erat. Mereka berpelukan cukup lama.
“ Will, selamat atas pertunanganmu. Aku turut senang.” Jem tersenyum sambil menepuk pundak Will. Lalu pandangannya beralih pada Tessa.
“ Kau tampak cantik malam ini, Tessa.” Jem membungkuk dan mengecup punggung tangan Tessa.
“ Terima kasih, Jem. Aku sangat senang bisa bertemu lagi denganmu.”
Mereka pun bercengkerama layaknya sebuah keluarga yang sudah lama tidak saling bertemu.

Tahun demi tahun telah berlalu. Hingga akhirnya Will dan Tessa menikah dan memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Mereka diberi nama James dan Lucy Herondale. Sedangkan Jem masih berada di sekitar mereka. Ia bekerja sebagai komposer dan sering berpindah-pindah tempat tergantung di mana konsernya hendak digelar. Hingga suatu saat, kejadian yang tak terduga terjadi.
“ James, potong rambutmu!” perintah Will pada James dengan santai sambil membaca buku.
“ Tidak mau. Aku nyaman dengan rambutku yang sekarang.” James berkata dengan mulut penuh roti.
“ James.” Kali ini Will menatap anak laki-lakinya itu.
“ Apa?” tanya James, menantang ayahnya.
Will hanya menghembuskan nafasnya lalu kembali membaca bukunya. Tessa dan Lucy saling berpandangan kemudian mengangkat bahu.
“ Aduh!” Tiba-tiba Will merasakan sakit kepala yang hebat. Ia menjatuhkan buku yang sedang dipegangnya dan mencengkeram kepalanya. Dan tak lama ia pun tergeletak di lantai. Tessa segera menghampiri Will, diikuti kedua anaknya.
“ Will, kau kenapa?” Tessa tidak dapat membendung tangisnya. Ia terus mengusap-usap rambut Will sambil memeluknya.
Akhirnya, Will pun dibawa ke rumah sakit.

“ Apa, dok? Suami saya terkena kanker otak?” Tessa sangat terkejut mendengarnya.
“ Ya.”
“ Bagaimana bisa?” jerit Tessa.
“ Banyak sebabnya, bu. Jalan satu-satunya adalah dengan kemoterapi.”
“ Ini tidak mungkin. Dokter pasti salah. Ini tidak mungkin.” Air mata mengalir deras dari mata ke  pipinya.
“ Anda harus menerimanya. Demi suami ibu. Ibu harus kuat agar suami ibu juga kuat.”
Selanjutnya, keadaan keluarga mereka pun tidak sama lagi. Tetapi Tessa berusaha tegar demi Will. Hingga Will tiba di masa kritisnya. Will meminta Tessa untuk memanggil Jem. Ia bilang bahwa ia harus mengatakan sesuatu pada mereka berdua.
“ Aku tahu aku akan menemui ajalku sebentar lagi. Tessa, kemarilah.” Tessa pun menghampirinya dan berlutut di samping tempat tidur sambil menggenggam tangan Will. Will balas meremasnya lemah.
“ Aku ingin kau tahu, aku selalu mencintaimu. Dan akan selalu mencintaimu bahkan setelah aku mati.” Will tidak dapat menahan tangisnya.
“ Will. Aku juga akan selalu mencintaimu. Aku tidak ingin kau mati, Will.”
“ Tessa, kumohon, relakan aku.” Kemudian ia berpaling pada Jem.
“ Jem,” katanya. Jem pun menghampirinya.
“ Tolong jaga Tessa. Hanya kau yang bisa kupercaya. Dan aku juga tahu kalian juga saling mencintai.”
“ Tapi Will—“ Tessa mencoba membantah.
“ James. Lucy. Jagalah mereka dengan baik,” potong Will. Ia mengatakannya kepada Tessa maupun Jem. Will mempercayakan juga anak-anaknya pada Jem. Itu bukanlah sesuatu yang Jem dan Tessa duga.
Tiba-tiba Will mengeluh kesakitan.
“ Will!” teriak Tessa. Tanpa berpikir, ia mencium bibir Will. Tidak rela harus kehilangannya secepat itu. Will pun membalasnya dan tubuhnya berubah menjadi rileks. Genggaman tangannya pada Tessa semakin kencang seiring ciuman mereka yang semakin dalam. Tessa merasakan air matanya di mulutnya yang ia yakin Will pun merasakannya. Geraman lemah sesekali terdengar dari tenggorokan Will. Hingga genggamannya pun melemah dan Tessa tidak dapat merasakan nafas Will lagi. Will sudah tidak bergerak.
“ Will? Will? Will! Tidak! Will! Jangan tinggalkan aku!” Tessa menjerit sambil memeluk tubuh Will yang sudah tidak bernyawa. Ia memandang wajah Will untuk terakhir kalinya. Wajahnya terlihat begitu damai dan tetap sempurna. Lalu ia pun mengecup kening Will dan menempelkan bibirnya di telinga Will.
“ Aku mencintaimu, Will.”

Setelah kejadian itu, Jem menepati janjinya pada Will untuk menjaga Tessa dan kedua anaknya. Tessa pun sedikit demi sedikit bangkit dari kesedihannya dengan bantuan Jem. Hingga beberapa tahun kemudian, mereka menikah dan Jem menjadi ayah serta suami yang baik bagi James, Lucy, dan Tessa.

TAMAT

Writer : Nia Kusumawardani (@Hisa_Kawashi)
Fanfic ini dibuat untuk mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove (@TMIndo)

Tuesday 14 January 2014

THE SHADOWHUNTER CHRONICLES IS SHINY!





Yang pertama terpikir oleh kamu pasti “Ugh, tebel banget sih ni buku. Males bacanya juga.” Atau mungkin juga “Covernya aja keliatannya dark, pasti serem deh, gak jadi ah.”

Yeah, honestly, maybe that’s people think when they see these books in the bookstore. But not for me. Yang pertama aku lihat di toko buku adalah The Infernal Devices : Clockwork Angel, dengan Will yang mejeng di covernya. Believe me or not, my eyes locked on him. And then, I bought it immediately.

And, benar saja, isinya sangat memuaskan. Begitu juga dengan series selanjutnya yaitu The Mortal Instruments. Cassandra Clare ga henti-hentinya membuat saya berdecak kagum.

Seri ini tidak seperti novel-novel fantasi yang sering kita jumpai dahulu. Why?

1). Complicated. Ingin begini salah, ingin begitu salah. Bagitulah yang dialami para tokoh di dalam buku ini. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kata “sacrifice”. Menyebalkan bukan? Dan, seringkali aku pun merasa berada di dalamnya. This is why I love Cassie (Cassandra Clare), dia bisa membuat pembaca terus duduk manis sambil membaca padahal jiwanya udah ada di dalam buku *grins*.
2). Many surprises. Mungkin jika baca novel fantasi biasa, kita bisa menebak how is the ending of that. But like I said, this is different. Endingnya tidak melulu mutlak “happy ending” or “sad ending”. Ini juga yang akan membuat kamu pasti suka dengan serial ini. Seri ini memberikan pemikiran yang segar kepada pembaca.
3). Dark but tempting. Memang, suasananya lebih banyak menonjolkan sisi kegelapan. Ada shadowhunters alias pemburu bayangan, warlock, vampires, werewolves, demons, bahkan manusia dengan sifatnya yang sadis namun cerdik.  Yeah, mungkin ini kedengarannya “creepy”, tapi jangan khawatir, karena seri ini bakal membuat pembaca penasaran sampai akhir.
4). Karakter setiap tokohnya yang kuat. Ada Magnus si High Warlock of Brooklyn, ada Herondales yang sarcastic, ada Simon dan teman bandnya yang kocak, silent brothers yang banyak jaitan and creepy,  dan masih banyak lagi. Ditambah lagi ada sesuatu yang unik di sini, vampire di siang hari. Kok bisa? Ya itulah bedanya.
5). Pesan tersirat yang mengena. Masalah apa saja yang kita hadapi dengan sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih or dalam hal ini seseorang yang kita cintai dan bagaimana kita menyelesaikannya. Setiap keputusan yang kita ambil akan memengaruhi hasilnya. Bagaimana jika kita mencintai dua orang yang berbeda dengan sama besarnya? Bagaimana jika salah satu dari orangtuamu adalah musuh dari orang-orang yang kau cintai? Bagaimana jika orang yang selama ini kau cintai ternyata mencintai orang yang baru dikenalnya? Bagaimana jika seseorang yang seharusnya kau cintai adalah musuhmu? Bagaimana jika orang yang selama ini kau cintai telah membunuh orang lainnya yang juga kau cintai? Memang banyak sekali cinta yang dibahas, tetapi cinta yang dibahas di sini adalah cinta dalam arti yang luas.
6). Smart jokes. Di buku ini juga ada momen-momen yang bisa membuat para pembaca tertawa. Ada yang mudah dimengerti dan membuat kamu tertawa secara spontan, tapi ada juga yang memerlukan kelihaian kamu untuk berpikir, jika kamu mengerti barulah kamu akan tertawa. Tapi jangan khawatir, karena di situlah asiknya.
7). Banyak unsur khas. Rune, seraph, witchlight, dark outfits. Itu baru beberapa stuffs yang sangat khas dari serial ini. Dan kebanyakan pembaca menganggapnya keren.
8). Many beautiful quotes, terutama di trilogy The Infernal Devices. Banyak pembaca yang jatuh cinta karena kutipan-kutipan di serial ini.  

Pada intinya, serial ini merupakan seri yang berkualitas karena bisa membuat pembaca sedih, tegang, tertawa, bahagia, marah. Atau bisa juga sedih dan bahagia di saat yang bersamaan. Hebat bukan?

Serial ini mengajarkan apa artinya sebuah pengorbanan, cinta, keluarga, persahabatan, merelakan seseorang yang kita cintai, dan bisa juga mengubah pandangan kita terhadap musuh atau bahkan teman. Yang menarik dari novel fantasi ini adalah meskipun ini sebuah “fantasi” tetapi di sini juga Cassie menunjukkan betapa hidup itu tidaklah simple. Banyak yang harus dipertimbangkan. Hmm, mungkin kamu masih berpikir “Wah kayaknya pusing kalo baca ini. Mana tebel.” No! Walaupun rumit, tapi seri ini sangatlah menyenangkan. You won’t regret read this! Trust me!